Kamis, 05 Februari 2009

Bersekolah di Singapura



(foto: si Raja Kecil lagi eksperimen warna)


Baru-baru ini Kementerian Pendidikan Singapura mengumumkan proposal baru mereka. Usulan mereka adalah meniadakan ujian kenaikan kelas untuk SD kelas 1 dan 2, dan menggantinya dengan ujian2 / kuis2 kecil sepanjang tahun ajaran.

Usulan ini mengundang pro-kontra, mengapa?

Mereka yang kurang setuju dg usulan pemerintah kebanyakan adalah para orang tua anak2 itu sendiri, yang mengatakan bahwa:
1. Nanti murid tidak terbiasa dg sistem pendidikan "yang sebenarnya" di Singapura, yang masih sangat menitikberatkan pada nilai baik ujian sebagai acuan keberhasilan anak dalam pendidikan.
2. Lebih capek untuk murid, karena ujian2 kecil sepanjang tahun akan membuat 'stres' sepanjang tahun. Capek juga buat orang tua (katanya lho) karena harus terus menerus memonitor kemampuan dan kemajuan si anak sepanjang tahun.

Yang mendukung proposal pemerintah ini, antara lain guru sekolah SD lokal sendiri di sini, karena menurut mereka:
1. Adalah lebih baik menumbuhkan rasa cinta pada pengetahuan, membantu anak memuaskan rasa ingin tahu, dan menanamkan pikiran bahwa belajar itu menyenangkan, bukan stres.
2. Biasanya anak2 tingkat SD 1 dan 2 pun belum perduli dengan hasil ujian mereka, jadi ujian tidak bisa dijadikan ukuran kepandaian anak. Apalagi ada anak2 yang "late bloomers", yang baru menunjukkan bakat dan kepandaiannya lebih lambat dari teman2nya.
3. Biarkan anak2 mengeksplorasi minat mereka dulu, menggambar, menari, menyanyi dll. Ini juga bagian dari proses belajar.

Harga sebuah Keberhasilan

Mungkin anda sudah sering dengar, betapa mutu pendidikan di Singapura dikatakan termasuk yang terbaik di Asia, bahkan mungkin di dunia. Tapi konsekwensinya berat juga deh, karena yang saya lihat/ dengar/  baca dari koran lokal, sejak SD (bahkan sejak TK) murid2 sudah dibebani modul2 berat dan seabrek. Libur semester tengah tahun sekolah rasanya bukan libur, karena tiap hari pada masa libur sekolah, SD dekat rumah saya masih saja banyak muridnya, yang ambil ekstra-kurikuler, yang ambil jam tambahan untuk mata pelajaran tertentu (biasanya diwajibkan oleh sekolah, karena nilai rapor murid2 ini dianggap rendah)...yang ini, yang itu. Waaaaaaahhh, kapan liburnya! Kapan mainnya! :(

Susahnya lagi,  sebagian besar orang tua murid masing berpikiran  "Kiasu" alias tidak mau kalah. Khawatir anaknya tidak bisa bersaing di sekolah, mereka dimasukkan ke kelas2 tambahan, misalnya kelas Science, Math, Chinese language dll. Teman saya yang anaknya sudah di SD mengeluh karena tiap bulan harus mengeluarkan uang banyak untuk biaya kursus ini itu. Gawat ya...

Pemerintah mungkin juga ada andil dalam menciptakan iklim kiasu ini. Soalnya sehabis pengumuman O level atau A level (sekelas SMA dan college), koran2 lokal penuh berisi undangan dari berbagai institusi baik swasta maupun negara kepada murid2 (yang lulus dengan nilai bagus saja nih) untuk mengajukan proposal beasiswa. Bagi mereka yang terpilih, akan disekolahkan di sekolah2 ternama di dunia - Cambridge, MIT, Harvard, Oxford, fully funded! 
Menggiurkan lah pokoknya.

Mungkin juga kalau pemerintah tidak terlalu mendewa-dewakan nilai hasil ujian yang sempurna sebagai ukuran keberhasilan murid, para orang tua juga tidak akan terlalu khawatir dengan perkembangan pendidikan anak mereka. Malah mungkin akan bersedia memberi 'keleluasaan' bagi anak mereka untuk belajar hal2 lain seperti belajar sopan santun, belajar ttg budaya dan seni, belajar lebih cinta lingkungan dll.

Kelihatannya sih akhir2 ini arah kebijakan pemerintah sudah mulai condong ke sana, buktinya ada usulan seperti ini. Institusi2 pendidikan yang adapun mulai memperhitungkan 'kemampuan' lain calon murid ketika memutuskan siapa yang akan mereka terima di sekolah mereka. Semakin banyak orang tua yang bersedia menyekolahkan anak mereka di sekolah olahraga, sekolah musik/ seni dll. Tapi, hasil nyata dari berubahnya arah pendidikan di sini belum  bisa dilihat sekarang. Yang terpenting, pemerintah dan masyarakat harus bersama mencoba mengubah persepsi mereka ttg arah pendidikan generasi muda bangsa. 

Saya sendiri bagaimana? 

Hingga dua hari yang lalu saya masih bersemangat mencari tempat kursus bahasa Mandarin untuk anak saya yang masih di TK1. Terus terang, saya kepingin anak saya belajar bahasa Mandarin, kan mumpung tinggal di sini, di samping juga kepingin anak saya punya edge gitu....punya harga jual lebih, buat bekal nantiiiii. Tapi juga mungkin setengahnya karena cara berpikir saya sudah agak terpengaruh oleh berita dan cerita kiri kanan nih. Kiasu juga dong saya.

Sampai akhirnya saya mendapat pencerahan dari teman baik saya...ibu Lili. :)
Dia berprofesi spt saya, anaknya dua di SD dan SMP. Yang besar tidak ambil Mandarin, karena sewaktu pindah ke Singapura, dia sudah kelas 4SD, tidak mungkin lah belajar Mandarin dari ) di kelas 4. Adiknya masuk SD, ambil Mandarin, sampai sekarang survive dengan tambahan tuition di luar. Tapi ....anak ini pasif juga Mandarinnya, di rumah kan tidak ada yg menggunakan. Dan ibunya berkata....sekarang sudah susaaaahhhh....pelajarannya! Setengah mati! Dan...ini sudah harga mati, gak bisa minta pindah belajar mother tongue lain misalnya Malay atau Tamil. Jadi ya....sampai SMA nanti harus ambil mata pelajran Bahasa Mandarin lah. Untungnya anak teman saya santai saja, tapi anak lain bisa stress karena beban pelajaran (dan pengharapan orang tua?) yang tidak sesuai kemampuan.

Deg...tiba2 saya tersadar! Halooo....ini yg semangat belajar bahasa Mandarin anaknya atau orang tuanya ya? Biar saya masukkan anak saya ke kelas / kursus tambahan paling top juga, kalau anaknya tidak tertarik/suka...malah jadi beban buat dia. Kasihaaannn...

Saya jadi berpikir...hm...anak masih kecil (baru aja genap 4 tahun) lebih baik diperkenalkan dengan cara yg menyenangkan kepada berbagai hobi termasuk bahasa, asal tidak dipaksa. Tidak perlu pasang target. Main-main kan juga bagian dari proses belajar buat anak kecil. Nanti kan kelihatan...dia senang dan tertarik dengan apa, itu yang kita dorong. Benar ngga?

Atau... ada masukkan buat saya? Mau yaaa...

4 komentar:

Lisa mengatakan...

temen gw di jkt (Nuke) masukin anaknya ke montesory n yg 3 thn blj bhs inggris dan yg 7 th udah blj mandarin (sori ngetik buru2)

dyah mengatakan...

@lisa:
Duuh....sori gw rada gak mudeng maksud komentar loe ke mana nih. Ngetiknya buru2 siiih :)

Gw pikir selama anak tidak merasa dibebani dg "harus dapat nilai bagus"...gakpapa deh mereka belajar atau berkenalan dg bermacam hobi / bahasa. :)

Anonim mengatakan...

Ini bukti bahwa pemerintah Singapura sangat mengerti pendidikan. Sejak dulu isu itu dibahas orang-orang pintar di Barat, bukan Indonesia.

Kebalikan dengan di negara Pancasila. Guru-guru justru tidak dipercaya lagi oleh pemerintah alias Departemen Pendidikan Nasional. Dibuatlah Unas (ujian nasional) yang seragam untuk Indonesia yang luas, dengan perbedaan luar biasa kota-desa, Jawa-luar Jawa.

Anak-anak stres terus, harus ikut bimbingan belajar, les privat... gak ada waktu untuk santai atau bermain. Sekolah menjadi tidak menarik. Belum lagi format ujian pilihan ganda. Panjaaaang banget kalau kita bahas pendidikan.

Suwun atas informasi ini.

Sultana mengatakan...

Kids these days are under pressure I tell ya. In M'sia school starts 7.30 am ends around 1 pm. After school if they are muslims they go to Religious school from 2 maybe till 5-6 pm. Then at home either they go to tuition or they have to do their homework. Carry school books everyday weighing nearly 3 Kg ( I know I was one of those kids) LOL. So it sucks.

Since other parents are Kiasus also, we automatically become Kiasus. Can't be helped. This is a competitive world.

Popular Posts