Ada pepatah yang mengatakan 'lain padang lain ilalang'. Benar sekali diterapkan di Singapura yang penduduknya terdiri dari berbagai bangsa. Tiap bangsa memiliki kebudayaan dan kebiasaannya sendiri, yang belum tentu sama dan bisa diterima oleh bangsa lain. Tapi sejauh kita menyadari perbedaan kita, semestinya tidak akan ada gesekan. Sebagai bangsa pendatang, saya merasa ada baiknya saya memperhatikan kebiasaan masyarakat lokal. Tentunya...tidak ada salahnya jika saya melakukan sedikit penyesuaian dalam kebiasaan saya, sekiranya kebiasaan itu bertolak belakang dengan kebudayaan dan kebiasaan lokal.
Penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan kebiasaan lokal bisa berlangsung secara sadar maupun tak sadar. Yang termasuk Kebudayaan di sini adalah pengaruh bahasa, makanan, pandangan hidup...apapun. Mau contoh?
Misalnya...tak lama sejak saya tinggal di Singapura saya merasa heran sekaligus takjub menyaksikan bagaimana cepatnya orang Singapura melahap habis makan siang mereka di Hawker Centre. Belakangan saya menyadari...saya memang harus makan cepat (walau ini bukan cara yg sehat) karena kursi saya akan digunakan oleh orang lain, yang sudah gelisah berdiri di sebelah meja menunggu giliran makan.
Contoh lagi....
Dulu saya berpikir...mengapa orang Singapura selalu tidak sabaran...selalu tergesa-gesa. Dan ohhhh........tangga berjalan di pertokoan berjalan dengan sangaaat cepatnya!
Sekarang? Ibu saya sering mengeluh jika berjalan dengan saya, katanya saya selalu tergesa2.
Hampir habis rasa kesabaran saya menunggu teman dari Jakarta yang sedang berlibur di sini, memutuskan akan di mana kami makan siang hari ini.
Secara tak sadar....budaya dan kebiasaan hidup lokal sudah merasuk.
Saya rasa, saya termasuk orang yang punya tenggang rasa tinggi...terutama setelah tinggal di Singapura...berkenalan dengan orang dari berbagai negara dan bangsa. Tapi rupanya, rasa toleransi saya diuji ....oleh tetangga sendiri!
Tetangga depan rumah berasal dari salah satu negara terbesar di dunia. Negara Asia...tak perlu saya menyebut nama. Kelihatannya mereka adalah sekumpulan pekerja muda dari negara ini. Ada satu kebiasaan buruk mereka (menurut kaca mata saya) yg benar-benar tidak bisa saya terima. Mreka punya kebiasaan membanting pintu depan ketika keluar atau masuk rumah.
Suara pintu yang dibanting terdengar sangat mengagetkan .... dan mengesalkan hati kami sekeluarga.
Sepertinya mereka tahu kalau saya kurang suka dengan kebiasaan mereka, karena pernah pada suatu hari saya dan salah seorang dari mereka secara hampir bersamaan berada di depan pintu rumah masing2. Saya akan masuk rumah dan sang tetangga akan pergi keluar. Penasaran...saya ingin tahu, apakah dia akan membanting pintu seperti biasa? Kalau dia masih membanting pintu juga...saya akan tegur (mungkin dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kejengkelan) dan minta dia tidak membanting pintu lagi. Saya tunggu. Apa yg terjadi?
Tiba2 sang tetangga melayangkan pandangan ke arah saya. Kami saling bertatap mata. Saya menahan napas...menunggu cemas. Sang tetangga tertegun sejenak, dan tidak jadi membanting pintu. Dalam hati saya bertanya...."Apakah ini pertanda baik? Semoga dia mengerti perasaan saya...dan semoga dia memberi tahu teman serumahnya tentang perasaan saya."
Ternyata....ketertegunan sang tetangga hanya berlangsung saat itu. Berikut2nya...masih juga mereka membanting pintu. Tadi pagi.. suami dan ibu saya setengah mengeluh, mengatakan bahwa kali ini bantingan pintunya terdengar jauh lebih keras! Alamak! Masa iya?
Saya sudah hilang akal. Mau bicara baik2 rasanya sudah tidak sanggup. Inginnya marah saja, melabrak mereka dan mencaci mereka, mengatakan alangkah kasar dan tidak berpendidikannya kelakuan mereka. Tapi saya juga tahu, saya tidak bisa melakukan itu, karena mungkin saja mereka tidak berpendapat begitu, sesuai dengan budaya mereka.
Ingin rasanya berkata, "Tenggang rasa bung! Kita sama2 pendatang di negeri ini. Dari dua negara yang berjarak ribuan kilometer. Alangkah baiknya kita menjaga perasaan tetangga kita."
Sungguh mati baru kali ini saya punya tetangga menyebalkan. Sebelum2nya...saya selalu berteman baik dengan tetangga, apakah dia orang Singapura atau dari negara lain, sama saja, sama baiknya. Tidak yg satu ini. Apa bedanya? Mungkin pengaruh kebudayaan dan kebiasaan di negara sendiri...mungkin kebiasaan membanting pintu memang sudah membudaya di negera asalnya. Apapun.... itu bukan sesuatu yg baik yang bisa dibawa ke dan diterapkan di negera lain.
2 komentar:
Apa kabar si tetangga itu? Mudah-mudahan sudah pindah. Saya bisa bayangkan betapa susahnya punya tetangga yang urakan macam itu. Repot juga kalau banting pintu jadi budaya orang itu.
Khusus budaya jalan cepat, tergesa-gesa, sebetulnya ada baiknya juga. Orang-orang seperti ini biasanya antusias, semangat, berpikir cepat, ingin segala sesuatu cepat tuntas. Tak menunda-nunda pekerjaan.
hihihi...
bang, si tetangga sudah tidak ada di situ lagi. Begitu juga kami...sama2 sudah pindah ke tempat baru :-)
Iya benar...semoga saya sudah tertular kebiasaan kerja dan berpikir cepat...asal tidak mengarah ke kiasu hehehe
Posting Komentar