(Diambil dari blog lain, ditulis tgl 4 Maret 2007)
Seperti layaknya pasangan suami istri...hubungan antara dua negara juga ada pasang surutnya. Termasuk hubungan antara Indonesia dan Singapura. Sekarang hubungan kedua negara ini sedang agak 'garing'....karena isu penghentian ijin ekspor pasir dari Indonesia ke Singapura.
Indonesia awalnya beralasan bahwa penghentian ijin ekspor pasir ini karena dampak penggalian pasir menyebabkan kerusakan lingkungan parah di kepulauan Batam. Belakangan ada petinggi pemerintah yg menyentil, katanya penghentian ijin juga ada hubungannya dg keengganan pemerintah Singapura membahas isu perjanjian ekstradisi antar dua negara...dan isu garis batas kedua negara.
Apa hubungan antara ijin ekspor pasir dengan perjanjian ekstradisi dan isu garis batas negara? Tidak ada...kecuali mungkin hubungan 'gertak sambal' berbau 'balas dendam' atas rasa 'keki'. Duuhhh...apa pula ini.
Isu garis batas negara? Ini bukan berita baru. Indonesia (dan Singapura) juga ada masalah dg negara lain mengenai kesepakatan garis batas negara mereka.
Isu perjanjian ekstradisi memang sudah jadi kerikil hubungan kedua negara sejak bertahun lalu..mungkin semenjak pasca pemerintahan Soeharto. Kita sama-sama tahu, ketika Indonesia gonjang ganjing masa itu, banyak orang kaya Indonesia yg memilih menyimpan uangnya di luar negeri (termasuk Singapura). Orang kaya ini...tentu saja termasuk para oknum tertuduh korupsi di Indonesia.
Sekarang...pemerintah RI giat melacak ke mana larinya uang negara itu...dan berusaha mendapatkan kembali kekayaan negara yg hilang itu, sekaligus membawa oknumnya ke meja pengadilan lewat perjanjian ekstradisi. Reaksi Pemerintah Singapura? Tentu saja sedikit banyak kebakaran jenggot, karena ini berarti akan banyak investasi asing (dari orang2 Indonesia ini) yg harus dikembalikan ke negara Indonesia. Simalakama bukan? Satu pihak Singapura mendukung pemerintahan Indonesia yg bersih memberantas korupsi...tapi berat juga melepas investasi yg menopang lajunya perekonomian negara pulau ini. Setelah bertahun-tahun perjanjian ini terkatung-katung, kelihatannya pemerintah Indonesia mulai kehabisan kesabaran. Lalu dihentikanlah ijin ekspor pasir itu.
Tapi....mengapa pasir? Tentu saja. Singapura sedang maraton membangun negerinya. Proyek besar terakhir yang sedang dijalankan adalah mendirikan komplek Rekreasi Terpadu "integrated Resort' di Sentosa dan Marina Bay. Tentu saja pasir adalah bahan dasar materi konstruksi. Sebagian besar pasir konstruksi di Singapura didapat dari Indonesia. Jadi bisa bayangkan apa yg terjadi ketika ijin ekspor pasir dari Indonesia ke Singapura dihentikan? Kepanikan.
Lalu...dimulailah strategi yg sebagian publik anggap sebagai strategi aksi penekanan thdp negara Singapura. Ijin ekspor pasir dari Indonesia ke Singapura dan Cina (negara Cina sepertinya hanya korban samppingan) dicabut. Sepertinya Indonesia mau menunjukkan kekuatannya thdp negara tetangga mungil. Atau kekesalannya thdp kelambatan pemerintah Singapura membahas isu ekstradisi? Aksi gertak.....membalas rasa kesal karena merasa tidak dianggap penting. Apapun....rasanya strategi ini kurang tepat. Di mana kekuatan diplomasi kita? Tidak bisakah masalah ini diselesaikan dg negosiasi? Sudah pasti alot...tapi setidaknya usaha lewat perundingan...bukan gertakan.
Pemerintah Indonesia juga harusnya lebih membumi. Negara kita bukan negara adi daya...berbulan2 ini kita selalu tertimpa bencana. Kita butuh bantuan negara tetangga...dan Singapura termasuk negara yang rajin membantu. Kita tidak tahu kapan lagi kita akan memerlukan bantuan mereka. Kalau masa itu datang...dan Singapura menolak memberikan bantuan, kita juga yang repot. Di mata dunia juga kita terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena mainan yg dia minta tidak diberi. Bukan sebuah 'wajah' negara yang kita inginkan bukan?
Bagaimana jika Indonesia mengajukan usul kpd pemerintah Singapura, bahwa jika kedua negara berhasil mencapai kata setuju dalam perjanjian ekstradisi, setiap kasus pengembalian uang 'panas' yg lari ke negara Singapura berhasil diselesaikan, pemerintah Singapura akan mendapat sekian persennya, tergantung jumlah keseluruhan. Ini penyelesaian hitung2 gampang ala orang awam seperti saya. Saya kurang tahu bagaimana penyelesaian masalah seperti ini di mata hukum internasional...tapi usul boleh saja kan?
Topik berhubungan bisa baca ini:
http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2004/11/08/brk,20041108-72,id.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/06/03/brk,20040603-18,id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar