Bicara soal nyirih, kueh mueh peranakan, jajan pasar orang jawa, dan kue2 nya orang Melayu kan banyak yang memerlukan air kapur dalam proses pembuatannya (hayooo...yg tidak suka masak pasti gak tahu deh) Kapur ini bukan cat kapur buat dinding rumah ya, tapi kapur putih2 untuk menyirih itu.
Suatu hari, dulu sekali...saya kehabisan kapur ini. Bingung...cari di mana ya? Ahh....orang India kan banyak yg masih menyirih, saya cari saja di Little India. Sampai di warung2 pinggir jalan yang menjual berbagai dupa wangi2 ala India itu, saya malu-malu bertanya pada Uncle penjual.
Saya: "Uncle...do you sell that white-white stuff that you use for masak-masak kue?
Uncle: Dia pasang tampang bengong...gak ngerti. Okay, let's try another approach.
Saya: "That white stuff uncle...the stuff you chew together with betel nut and sirih leaves? What do you call that stuff here?"
Uncle: dengan wajah ceria karena mengerti..."Oh you mean kapoor lah"
Saya: "Yes uncle!, that's it!" (dengan wajah malu karena ternyata namanya sama!)
So akhirnya, biar malu, saya pulang dengan gembira hari itu dengan sebotol gemuk white stuff called kapur. Hehehehe....
9 komentar:
suka nyirih ya mbak hehehe
haiyaaaa....lidya...kok tau aja siih! :D
he he he... can be Kapur came from sanskrit like so many words malay and even indonesian use. Like dunia, dosa, pahala, manusia and many more.
We are so integrated nowadays, hard to say what comes from where.
wew..jangan-jangan, rupiah asalnya dari kata rupee :D
hihihi...GIL, apa kabar ya? LAma banget tidak memunculkan diri :D
Lhaaa....baru tau ya rupiah dan rupee itu sodara? hehehe
Hehehe... kapur!!! Saya jadi geli baca artikel ini karena ingat mama-mama di Flores tahun 1980-an dan 1990an, dan sampai sekarang pun masih banyak. Makan sirih pinang, nginang, memang tradisi panjang di NTT dan Indonesia Timur, khususnya pulau-pulau pelosok macam Flores, Alor, Solor, Lembata, Adonara, Sumbawa, Wetar, dan seterusnya.
Mama-mama itu -- sebetulnya laki-laki juga banyak -- ketagihan makan sirih pinang. Kalau saya ke kota, 30-an km pakai sepeda pancal zaman dulu, yang dipesan selalu standar: sirih, pinang, tembakau!
Kalau kapur sih biasanya bikin sendiri di kampung. Saya tahu persis cara membuat kapur untuk makan sirih pinang. Bukan kapur untuk tembok atau kapur tulis di papan hitam (blackboard) itu. Kapur untuk nginang, berdasar tradisi, harus diambil yang di dalam laut. Dijemur sampai kering, lalu dibakar.
Eh, ternyata di Singapura ada pula sirih, pinang, kapur ya? Tabiklah!
Syari,
You are absolutely right :D So are related ya? Distant cousin maybe? LOL
Bang Hurek,
Waah...bang, saya tidak tahu kalau pesona kapur juga sampai ke Flores! Apa sekarang kebiasaan itu masih ada bang?
Yang saya ingat waktu kecil dulu (sekitar tahun 70-80an)...saya mengunjungi aki di desa Cikampek, nah di situ saya masih melihat ninik2 nyirih.
Iya nih...di Spura, sirih dan inang dan kapur masih bisa banyak ditemui di little india, daerah pusat etnik India di sini. Eh...bang Hurek penah ke sini juga kan ya? :D
We are all related if you believe that we all come from Adam and Eve. :) heh, my late grandma was pure Javanese.
Hehehe..
Jadi gak enak bahas tradisi makan sirih-pinang di Flores. Sampai sekarang masih ada, api tidak separah sebelum 1990-an. Ketika ada wajib belajar, semua orang mulai sekolah, termasuk perempuan, meskipun hanya lulus SD, kebiasaan tradisional berangsur-angsur berkurang.
Tapi dalam acara-acara tertentu, adat, tradisi ini harus ada. Tidak boleh tidak. Menerima tamu agung, orang yang dhormati, baik itu pejabat pemerintah sekelas bupati, gubernur, atau pejabat gereja sekelas uskup, pastor yang baru ditahbiskan... tidak afdal kalau dijempur dan diarak secara khusus.
Begitu si VIP tiba di gapura, tari-tarian tradisional dan beliaunya dikasih wadah sirih-pinang. Makan sedikit sekadar formalitas tak mengapa. Kira-kira begitulah.
Pudarnya tradisi sirih-pinang-kapoor juga akibat perubahan konstruksi rumah. Zaman dulu lantai rumah di kampung-kampung Flores itu kan pakai tanah. Belum pakai tembok, apalagi tegel,a apalagi marmer. Karena hanya beralaskan tanah, mama-mama zaman dulu [juga bapak-bapak tertentu] membuang air merah dari mulutnya ke lantai. Jorok banget!
Kemudian tahun 1980-an, zaman Gubernur Ben Mboi dan istrinya, Ibu Dr Nafsiah Mboy, ada gerakan sanitasi dan kebersihan yang luar biasa. Sejak itulah tradisi nginang mulai surut. Tapi hilang sama sekali sih kayaknya belum. Terima kasih, saya sudah diingatkan tradisi lama ini.
Oh ya, kalau Little India ini, ada beberapa kenalan saya di Surabaya yang selalu mampir di situ untuk cari obat kuat. Nggak tahu kuat ngapain tuh!!!
Posting Komentar