Minggu, 04 Desember 2016

Seri Kisah Ibu: Minum Kopi

Kisah di bawah ini adalah kisah Ibu saya semasa kecil. Beliau melewati banyak masa, jaman pendudukan Belanda, Jepang, kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga kini Presiden RI Jokowi.

Menurut saya ibu mewakili wanita modern pada jamannya. Beliau fasih berbahasa belanda tapi juga bertutur kata bahasa Indonesia dengan rapi. Bahasa Jawa tentu juga lancar baca tulis dan bicara. Ibu sekolah hingga sekolah tinggi, diploma 3, Kimia. Selesai sekolah ibu hidup mandiri dengan bekerja di perusahaan farmasi, sampai akhirnya disunting bapak.

Saya mau memulai seri baru di blog ini. Kisah ibu saya dari masa kecil hingga akhirnya menikah dan berkeluarga. Doakan saya, supaya seri ini lancar ya, karena kalau ibu sudah tidak ada, kita tidak bisa tanya orang lain tentang kisah hidup beliau. Itu yang saya alami dengan almarhum bapak. Sedih rasanya tidak tahu banyak tentang kisah masa muda bapak.

Kisah ibu tidak ditulis secara kronologis. Masih seingat beliau saja. Kadang cerita berupa wawancara (audio), kadang juga berupa tulisan (saya). Ibu sebenarnya juga sudah menulis autobiografinya, pelan-pelan dan lebih sering mogoknya. Jikalau menunggu beliau selesai menulis, wah bisa lama sekali. Beliau juga agak sebenarnya agak malas menulis haha. Jadi saya memutuskan untuk membantu menulis cerita beliau. Saya coba menulis sesuai gaya bahasa ibu. Semoga beliau berkenan dengan karya ini.

"Cerita seputar : Kopi bapak"

Sejak kecil aku tidak terlalu suka minum kopi tapi aku suka mencium harum aroma kopi :)

Bercerita tentang kopi, dulu semasa kami masih tinggal di Pasuruan (aku kelas 4SD, tahun 1946an), pembantu kami, yu Gisah dan yu Semi secara rutin menyangrai biji kopi. Biji kopi dibeli di pasar di dekat stasiun Kereta Api Pasuruan.

Halaman rumah kami di Pasuruan luas sekali. Di halaman itu ada pohon mangga, sawo, ceri dan jambu air. Di bawah pohon jambu air inilah, yu Gisah dan Yu Semi menyangrai biji kopi. Pakai tungku, dan apinya dari kayu bakar. Mungkin ini sebabnya proses ini dilakukan di luar dapur, di bawah pohon, agak jauh dari rumah kami. Tapi mungkin juga, kedua Yu ini kepingin bebas mengobrol, sambil menyangrai biji kopi. Proses ini cukup lama, lumayan kan waktunya dipakai untuk bercengkrama.

Kopi yang sudah disangrai, lalu ditumbuk halus dan diayak. Barulah diseduh menjadi hidangan kopi untuk bapakku. Bapak minum kopi hitam, setiap hari. Pagi atau sore atau berapa kali sehari, aku sudah lupa.

Tetangga sebelah rumah kami di Pasuruan adalah pak Mintarum, dr Sudarsono dan dr mata Syahlan/ Dahlan. Rumah kami adalah rumah sewaan dari seorang Kapten Cina. Kapten Cina ini punya banyak rumah seperti ini. Rumahnya besar, dengan halaman luas. Ada selasar panjang yang menghubungkan rumah utama dengan kamar-kamar pembantu. Dapurnya juga terpisah dari rumah utama. Ada dapur kotor dan juga dapur bersih.

Di sebelah kiri rumah ada kali Gembong. Di sepanjang kali ada jalan setapak yang menghubungkan kampung di belakang dengan jalan besar desa. Jalan setapak menuju kampung tadinya cukup lebar, tapi sedikit demi sedikit terkikis aliran kali hingga akhirnya menjadi jalan setapak yang sempit sekali, berbahaya juga untuk dilewati. Akhirnya bapakku yang kebetulan ketua RT, membuat jalan baru, mengambil sebagian halaman rumah kami dan rumah tetangga, Pak Mintarum.

Pagar tembok tinggi menjadi batas antara rumah kami dan jalan setapak ke kampung ini. Yang aku ingat, tiap kali ada warga kampung meninggal, dari balik tembok rumah, dari sudut mataku, yang terlihat adalah keranda jenazah berjalan dari kampung keluar menuju jalan besar. Pemandangan yang cukup menyeramkan untuk seorang anak kecil. Pantas saja, aku masih ingat hingga sekarang.


- Posted using BlogPress from my iPad

Tidak ada komentar:

Popular Posts